DESSERT
Di
meja no 10 aku duduk. Menikmati aroma manis kue-kue legit di Destiny Café. Ya.
Hari ini aku berburu di sini. Ruangan dengan nuansa pastel berwarna hijau dan
kuning. Kursi rotan sedikit unik dengan bantalan tinggi nyaman untuk bersandar.
Daripada aku bersandar di hatimu. Uppssss!!!
He he he he aku jomblo 19 tahun. Berpipi chuby dengan mata bundar yang
kata mama gak ada bedanya dengan kelereng milik Desata adikku yang terpaut 17
tahun.
Aku
hampir menjadi the one and only sampai akhirnya bocah sok imut itu lahir
merampas kedudukanku di hati mama, papa, orang serumah, bahkan sepertinya
sekomplek. Bingung antara gemes sama ngenes punya adik umur 2 tahun. Kalau
jalan-jalan lebih sering dibilang tantenya daripada kakaknya. Pas lapor papa,
dia cuma bilang, “Syukur-syukur gak
dikira nannynya.” Hah. Stres gak sih.
Segera
kukeluarkan hp dan mulai memotret kue-kue imut yang tersaji. Bukan di mejaku
tapi di seberang. Cowok seksi ala Kai EXO
dengan perbandingan 1 : 100 pemesannya. Tinggal zoom in atur iso,
klik. Hasilnya cantik sekali. Tanganku gesit mengedit membuat tampilan
Madelaine Chocolate menjadi lebih seksi dari pemesannya.
Menoleh
ke kiri aku menemukan Wafel dengan saus strawberry meleleh. Manis sekali. Berbanding
terbalik dengan pemesannya. Mungkin berantem
dengan pacarnya. Semenjak datang sejoli itu tak saling bicara. Sibuk dengan
gadgetnya. Klik. Oke.
Dan
tibalah Red Velvet pesanan Arini. Wowwww menatapnya saja bisa membuat jantung
berdebar-debar. Arini istighfar melihat lapisan creamnya. Takut khilaf habis
sekali santap olehnya, segera ku eksekusi. Klik. Oke.
Tiga
postingan baru. Dalam hitungan detik masing-masing foto mendapat lebih dari 100
like.
fthyaaaa_
first komen
jiro_lu
kyaaa…mooiiqqqqnyaaa
_khuwaci
spill tempatnya dong kak @lingga_taste
inggrit_t
noona madelainenya hot banget sumpah …
Dan
masih banyak lagi komentar lainnya.
Aku
Kalingga seorang dessertgram dengan
700.000 lebih followers. Julukan dessertgram sebenarnya diberikan oleh
netizen. Karena feed di instagramku lebih
banyak berisi dessert daripada main course atau appettizer. Aku memang pecinta dessert.
Selain suka rasanya aku suka tampilannya. Seperti mendapat energi baru setiap
melihatnya.
Begitu
cintanya, selepas SMP aku melanjutkan sekolah ke SMK. Kebetulan juga otakku
begitu kental. Seperti bunyi hukum viskositas cairan di otakku akan menghambat
laju Matematika, Fisika, dan Kimia. Ngapalin Sejarah dan teman-temannya juga
susah. Apalagi pelajaran Seni Budaya, aku hanya bisa menyumbangkan suara dalam
arti sesungguhnya. Membuat lagu menjadi sumbang. Keahlianku cuma satu. Make a dessert.
Lulus
SMK aku melanjutkan sekolah di Maison Bleu Culinary Art khusus membuat dessert. Saat ini aku lebih dikenal
sebagai food blogger dan dessertgram. Aku sering mendapat tawaran
mereview dessert di resto atau hotel berbintang. Akunku juga menerima paid promote tanpa menampilkan wajahku
tentunya.
Jadi
untuk teman-teman yang senasib sedikit kurang adil dalam menerima pembagian
otak. Jangan khawatir. Just do everything
sesuai passion kamu, yakin, serius,
jangan menyerah. Maka pundi-pundi uang akan penuh dengan sendirinya. Just keep going and be your self.
“Lingga.
Sekali-kali posting selfie kamu lah. Followermu pasti senang,” Arini yang
selalu setia menjadi asisten gratisan mencoba merayu.
“Maksudnya…?”
“Kamu
tuh sekarang udah gak gendut lagi tahu. Cuma chubby aja. Malah gemes.” Ucapnya sembari mencubit pipiku.
“Yaaa…
Arini. Stop it.” Jeritku kesakitan.
“Kamu
cantik dengan caramu sendiri. Percaya aku.” Arini meyakinkan.
*****
Gendut,
pendek, bodoh, dengan jerawat batu yang tak pernah bisa hilang di ujung hidung.
Itulah tampilanku ketika SMP. Hari-hari ku lalui dengan perasaan insecure dan selalu menjadi tokoh utama
dalam drama bullying di sekolah. Cuma
Arini satu-satunya yang memandangku sebagai manusia kurasa.
Bohong
kalau aku gak pernah naksir cowok
saat itu. Namanya Agam, dia ketua kelas di kelasku. Selalu baik padaku atau
lebih tepatnya pada semua anak di kelas. Satu-satunya cowok yang tidak membullyku. Aku menaruh hati padanya. Tapi
aku cukup tahu diri untuk tidak menampakkannya.
Sampai
suatu hari Dodi temanku yang paling usil tiba-tiba merebut buku matematikaku.
Dia menertawakan angka-angka yang diberikan bu Susi di sana. Lebih banyak telur
daripada angka. Aku tidak marah karena merasa aku memang pantas ditertawakan.
Berkali-kali belajar, les privat tapi otakku gak nyambung juga.
Yang
membuat aku marah adalah ketika Dodi menemukan coretan nama Agam di dalam tanda
cinta lengkap dengan tanda panahnya di dalam bukuku. Seisi kelas menertawakan
aku si itik buruk rupa yang jatuh cinta pada pangeran berkuda putih.
Takut-takut
ku lirik Agam. Sorot matanya penuh amarah dan dia keluar dengan menendang
pintu. Rahasia tiga tahunku terbuka sudah. Aku cuma bisa menangis dan
menyalahkan kebodohanku. Berani-beraninya menyukai Agam.
*****
Arini
mengambil foto selfie tanpa permisi kemudian menunjukkannya padaku. Ia bilang
aku cantik mirip Kim Hyang-gi aktris Korea. Bukan sekali dua kali dia berkata
seperti itu.
Melihat
foto Kim Hyang-gi aku selalu bingung mencari letak kemiripannya denganku. Selain
pipinya yang chubby tentu saja.
Begitulah Arini dia selalu menjadi malaikat tak bersayap untukku.
“Oh. Hampir jam 4 sore. Aku harus balik. Chef
Ramzy gak pernah telat masuk kelas.”
“Okeee
bestie balik sono. Masak yang bener.
Kita buat satu kayak gini yang lebih gede.” Jawab Arini kali ini menarik
hidungku dengan mata menunjuk papan nama Destiny Café.
Segera
ku berlari menuju parkiran mengambil Scoopy merahku kemudian melaju ke kampus.
Tiba
di jalan Gajah Mada jalanan macet. Ada perbaikan pipa PDAM di jalan itu.
Terpaksa aku mengambil jalan memutar. Aku tidak mau ada peristiwa piring
melayang seperti kejadian yang menimpa Siwi pekan lalu. Chef Ramzy itu sebelas
dua belas dengan chef Juna, ganteng tapi galaknya naudzubillah.
Rasanya aku mengambil peran Wonder Woman tanpa
ijin. Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit aku sudah berada di kelas. Jangan
bayangkan kelas kami seperti anak kuliahan pada umumnya. Kelas kami adalah
dapur dengan 16 kitchen set, mirip ruangan
di acara Master Chef hanya ukurannya lebih kecil. Aku datang hanya berselang
beberapa detik dari hadirnya chef Ramzy. Syukurlah aku selamat.
Hari
ini kami akan membuat Blondie ala Gordon Ramsay. Aku pernah mencobanya beberapa
waktu lalu di rumah dengan Desata sebagai jurinya. Bocah itu susah sekali
makan, mama seringkali menyerah dibuatnya. Jadi ketika dia hampir menghabiskan
separuh loyang Blondie buatanku itu artinya aku berhasil.
Banyak
yang bilang buat apa bayar mahal-mahal untuk sekolah masak. Tinggal lihat di
YouTube atau beli buku resep terus praktik lebih murah khan. Aku hanya
tersenyum menanggapinya. Belajar secara otodidak dengan sekolah atau kursus
masak tentu saja berbeda. Otodidak berpegang pada sistem trial and error, tak sekali coba langsung jadi. Membutuhkan banyak
waktu sampai pada akhirnya menemukan taste
sempurna di lidah.
Sedangkan
sekolah atau kursus tentunya akan dipandu oleh chef berpengalaman. Mulai dari
bahan, teknik memasak, hasil memasak, sampai dengan penyajian akan memiliki
cita rasa seni tersendiri baik di lidah maupun di mata. Kemampuan kami juga tak
terbatas pada satu jenis masakan saja. Baik itu local food, Chinese food,
Western food, sampai timur tengah pun
kami pelajari.
Kebersihan
adalah nomor satu di dalam dunia masak memasak. Karena apa yang kami sajikan
akan langsung bertemu dengan sistem pencernaan manusia. Oleh sebab itu rambut
sebahuku sudah kuikat tinggi-tinggi dan kumasukkan dalam toque blanches tanpa lipatan karena kami memang masih
belajar. Apron putih sudah terpasang
rapi. Aku siap membuat Blondie.
Unsalted butter,
gula halus, garam, rhum, telur, baking soda, terigu, kismis, dan white cooking chocholate kurang lebih
itulah bahan yang aku siapkan. Setahap demi setahap ku ikuti arahan chef Ramzy.
Proses mengadon buatku adalah kunci dari keberhasilan setiap dessert yang kubuat. Terlalu lama atau
terlalu sebentar bisa membuat adonan bantet atau terlalu lembek. Untuk Blondie
tekstur yang diharapkan adalah crispy
di luar tapi sedikit melted di dalam.
Setelah
memasukkan kismis dan cincangan cokelat putih pada adonan. Perlahan kutuangkan
ke dalam loyang yang telah kualasi terlebih dahulu dengan baking paper. Kemudian kumasukkan ke dalam oven untuk dipanggang sekitar
20 menit saja.
Ting.
Notifikasi oven berbunyi. Dengan hati berdebar ku keluarkan Blondie buatanku. Daebak. Ku ketuk-ketuk permukaannya,
tingkat kekerasannya seperti yang kuharapkan. Kuambil pisau kemudian
membelahnya. Sempurna. It’s melted.
Bau harum kismis menguar bersama cokelat dan mentega. Teman-temanku berebutan
mencicipi Blondie hasil karyaku. Ku lihat chef Ramzy tersenyum puas. Bagiku itu
lebih dari cukup.
“Pegang
yang benar Lingga.” Rey yang bertugas mengambil fotoku memberi arahan.
Dengan
tangan gemetar kuperbaiki posisi dessert
plate yang kupegang.
“Jangan
kaku gitu dong. Turunkan sedikit. Senyum Lingga bukan nahan sakit perut.”
Perasaan
insecure itu kembali muncul tanpa
ampun. Padahal aku sudah berusaha menampilkan senyum terbaikku. Tapi ya
begitulah aku tak pernah bisa menjadi cantik.
“Lingga.
Just look at your Blondie.” Itu suara
chef Ramzy.
“You love it, doesn’t you. Ekspression.”
Mengikuti
arahan chef Ramzy pandangan mataku beralih. Reflek aku tersenyum melihat
Blondie buatanku yang semakin cantik dengan toping ice cream vanilla dan siraman caramel.
“Oke
Lingga. Selesai. Kamu cantik sekali.” Rey mengasurkan hasil bidikannya padaku. Kapan
dia ambil fotoku?
Perempuan
di kamera itu seperti bukan aku. Matanya berbinar, wajahnya mengekspresikan
cinta. Aku akui dia cantik sekali. Bukan gadis gendut dengan jerawat batu empat
tahun lalu.
Kini
aku membelah jalanan dengan Scoopy kesayanganku. Rumah Arini adalah tujuanku. Postingan
Blondie bersama wajahku untuk pertama kalinya muncul di akun @lingga_taste.
Dalam hitungan detik postingan itu di like lebih dari 1000 followerku. Komentar
pun sudah mencapai 657 komentar. Bahkan banyak DM masuk minta untuk endorse skincare. Ini adalah postingan terviral
selama ini.
Arini
benar. Dari rasa sakit dan malu bertahun-tahun lalu seharusnya aku cukup
menjadi tuli saja. Aku tak perlu menjadi cantik karena kata orang. Jalani apa
yang kusukai dan jadi diri sendiri. Mereka tak pernah tahu apa yang aku
rasakan. Aku hanya perlu memanggil pulang kepercayaan diriku yang sempat
hilang. Dan dessertlah yang menjadi
penunjuk jalannya. Perjalananku kali ini adalah ingin mengucapkan terimakasih
pada Arini yang selalu mendampingi di saat susah dan selalu memberi semangat di
kala gundah.
Lugas detail dan kekinian....kayanya surveynya mantap krn kaya bener2 seorang dessertgram yg nulis
BalasHapusAsekkkkkkk 😁😁😁😁
Hapus