Aku
melompat turun dari Nissan Serena mengekori Bang Ali. Tepat dibelakangku Bang
Aris, Bang Revan, dan Doni yang duduk di kursi belakang tak sabar untuk segera
turun. Mereka harus segera check sound. Bang Rio sebagai leader band telah
terlebih dahulu ke dalam, sejak mobil ini terparkir manis.
Setiap
hari Selasa, Rabu, Kamis, dan Sabtu kami akan menghibur pengunjung Del Ray
salah satu bar dan resto terbesar di kawasan pariwisata Senggigi. Pengunjung
sudah mulai ramai saat kami datang. Tak heran ini adalah malam Minggu. Weekend
selalu menjadi favorit setelah suntuk bekerja semingu penuh. Menikmati malam
melepas penat diiringi musik menghentak menjadi sebuah pilihan yang sulit
ditolak.
Masih
tersisa 30 menit sebelum jam 22.00 WITA. Aku masuk ke ladies room sebagai
ritual untuk menyiapkan diri sebelum tampil. Bingarnya musik Dj perlahan
meredup seiring tertutupnya pintu. Kuletakkan ransel diatas meja marmer yang
menempel bersama kaca rias dan wastafel berderet.
Perlahan
kulepas sweater yang membungkus tank top hitam dengan tali melilit di belakang leher,
membiarkan bahuku terekspos sempurna. Selanjutnya kulepaskan rok lilit panjang
yang menutup mini skirt putih 20 cm diatas lututku, lengkap dengan ikat
pinggang warna gold sebagai aksesories. Terakhir. Kulepaskan beanie yang
menutup rambutku. Aku menundukkan kepala untuk menyisir rambut dengan arah
terbalik dari leher ke ujung rambut, menyemprotkan hair spray seperlunya.
Sekali hentak kepalaku kembali tegak, rambutku tergerai berantakan. Memang itu
tujuanku. Perlahan kurapikan dengan jari.
Anggaplah
itu adalah tutorial untuk membuat rambut terlihat seksi natural.
Kaca
rias menampilkan wajah cantik dengan riasan smokey eyes di mataku. Riasan ini
sempurna menutup gurat-gurat lelah berlabur luka. Tak bersisa. Hanya ayu
tampaknya.
Pintu
terbuka bersama sederet senyum milik Vena.
“Maaf
Bay… Aku telat. Tadi aku berantem sama Mas Yos di jalan.”
“Kenapa?
Cemburu lagi? Ck ck ck ck,” decakku pura-pura prihatin.
“He’s
too much. Terlalu over protective. Aku gak suka.”
“Kamu
pikir Mas Yos suka kamu masih telpon-telponan ma Dewa. Wajarlah dia cemburu.” Jawabku
seraya memoles lipstick warna red wine. Bibirku merah segar menggoda seketika.
Tersenyum pada pantulan kaca. I’m perfect.
“Ve.
Mantan itu tempatnya di bak sampah.”
“Tapi
Dewa terindah buat aku.”
“Kalau
indah gak bakal jadi mantan. Naif banget sih,” rutukku kesal.
“Makanya
pacaran dulu Bay baru kasih komentar.”
Jawaban
Vena membuat mataku membola. Vena cengengesan merasa berhasil membuatku
bungkam. Perempuan aneh.
“Aku
duluan. Cepetan ntar Pak Avi marah liat kita gak lengkap di stage.”
“Okeyyy
jomblo cantik. Just give me…” Seraya mengangkat 5 jarinya yang kutangkap
sebagai kode 5 menit.
Pak
Avi adalah owner Del Ray Bar & Resto. Mr. Discipline adalah julukannya. Pria
berkacamata keturunan Tionghoa itu punya pandangan mata tajam yang menusuk
jantung dan mengakibatkan sesak napas tiba-tiba. Terutama kalau kami sebagai
home band terlambat.
Tall
boots putih berhak 7cm membawa langkahku ke dalam bar. Meminta compliment
berupa sebotol air putih tanggung pada Marco bartender andalan Del Ray.
Berbasa-basi sebentar sebelum kemudian menuju stage. Ransel kusimpan di bagian
belakang stage. Meletakkan tablet di stand book untuk memudahkan mencari lirik
lagu nantinya.
Tepat
pukul 22.00 WITA aku, Vina, dan Bang Ali sudah memegang mic masing-masing. Lampu
temaram berkelap kelip menjadi penanda pekerjaan kami harus segera dimulai. Intro
lagu Foolish Game milik Jewel mengalun lembut dari tuts keyboard Bang Rio. Kutarik
nafas dan mulai bernyanyi:
You
took your coat off
Stood
in the rain
You’re
always crazy like that
And
I watched from my window
Always
felt I was outside
Looking
in on you
…
Detik
merangkak malam semakin mendesak. Satu demi satu lagu Top 40 kami nyanyikan. Ritme
lagu pun perlahan-lahan naik mengiringi semakin berjejalnya pengunjung. Lantai
dua mulai penuh. Meja bilyard di lantai tiga paling ujung juga sudah menemukan
penikmatnya. Botol demi botol wine dibuka. Dance floor mulai sesak dengan
pengunjung yang lalu lalang kian kemari, menari tak jelas gerakannya di bawah
pengaruh alkohol.
Semakin
malam semakin ramai. Wajah mereka terlihat fun. Tapi hanya sementara. Di mataku
mereka hanya manusia-manusia bertopeng bahagia. Tawa mereka terlalu lepas dan
terbahak menandakan besarnya beban yang ada. Sungguh pelepasan derita yang
mahal untuk dibayar.
Selain
sibuk bernyanyi aku juga sibuk menghitung omset table tepat dihadapanku. 2
botol Kirschwasser, belum lagi bergelas-gelas brandy racikan bartender, dua
loyang pizza, setidaknya mereka harus membayar lebih dari 3 juta malam ini.
Pemandangan di table-table lain tak jauh berbeda. Para waitres berseliweran
membawa pesanan berbagai rupa. Perempuan-perempuan malam mulai mengatur
strategi. Mencari mangsa yang akan dibawa untuk beradu birahi menghasilkan
pundi-pundi. Kurasakan tengkukku meremang sendiri.
Kuperhatikan
Pak Avi tersenyum segaris. Bisnis kehidupan malam sangat menjanjikan. Jarum jam
menunjuk angka 23.15 WITA. Artinya 15 menit lagi kami break. Dj Antoinetta kulihat
sudah siap di stage sebelah. Setiap malam Minggu ada penampilan istimewa entah
itu Dj atau Sexy Dancer. Aku tak mengenal mereka karena schedule kami memang
berbeda.
Tepat
di 23.30 WITA kami break. Dibantu Bang Revan aku menuruni stage. Kemudian melangkah
bersama keluar. Kulihat Vena melambaikan tangan. Dia duduk bersama Mas Yos tawa
renyah terdengar dari mejanya. Aku hanya balas melambaikan tangan. Menjadi
nyamuk bagi lovey dovey yang baru saja akur bukanlah pilihan yang bagus.
Memilih
duduk pada meja oval panjang berisi para pria di bandku. Tak ada minuman
berakohol di meja kami. Kecuali Dino sang gitaris, pria-pria ini semuanya sudah
menikah. Memiliki latar belakang yang berbeda namun dengan tujuan sama, mencari
nafkah tambahan untuk keluarga kecil mereka. Mari kita kesampingkan masalah
halal dan haram atau berkah tidaknya cara kami mencari uang. Cukup Tuhan yang
menilainya.
Waktu
break lumayan panjang sekitar satu jam. Aku mengeluarkan tab dan mulai belajar.
Serius. Aku belajar. Selain sebagai vocalist home band Del Ray nama Bayuni Dewi
juga tercatat sebagai mahasiswi universitas terbaik di pulau ini. Senin depan
ujian semester. Aku gak boleh kendor. Targetku semester berikutnya bisa ambil
skripsi. Jadi tahun depan aku bisa wisuda. Berbekal ijazah aku akan mencari
pekerjaan lebih baik dan segera resign dari sini.
Sebagai
introvert sejati cukup mudah bagiku menciptakan sepi sendiri. Kupasang earplug
ditelinga untuk meredam riuhnya musik. Suara hingar bingar perlahan sayup dan
menghilang. Lewat dan berlalunya manusia di sekelilingku hanya menjadi siluet
tak penting. Otakku hanya menyinkronisasi materi perancangan struktur bangunan
sipil pada tab. Belajar buatku bisa dimana saja.
Konsentrasiku
sedikit terganggu ketika kulihat cocktail martini glass diletakkan di
hadapanku. Reflek kepalaku menegak. Pria berkulit bersih dengan rahang tegas
memberi isyarat melalui tajam matanya. “Kursi ini kosong?” Kira-kira seperti
itu yang kutangkap. Aku tersenyum dan mengangguk. Tanpa menunggu lama pria yang
kutaksir berusia awal 30an itu kemudian duduk.
Aku
kembali tenggelam dalam materi ujian. Hanya sebentar. Karena feelingku
mengatakan aku sedang diperhatikan. Kembali kutegakkan kepala. Seketika mataku
beradu pandang dengan pria dihadapanku. Laksana magnet matanya menyedot seluruh
alam bawah sadar. Sorot matanya yang tajam seolah menelanjangi isi kepala.
Menamatkan kembali, pandangan mataku menemukan perih dan lelah pada sinarnya.
Aku tahu. Karena sorot itu adalah jenis yang sama dengan milikku ketika berkaca
seorang diri.
Pria
itu menjadi yang pertama memutus pandangan kami. Gadgetnya berkedip-kedip. Foto
perempuan cantik muncul. Kalau tak salah menangkap senyuman samar menuju sinis
terlihat di wajahnya. Tangannya gesit menekan tombol off membuat gadget itu
mati sempurna.
“Gak
sopan ketika bersama perempuan cantik kita menerima telepon dari perempuan
lain.”
Hah.
Why is he suddenly saying a kind of bullshits?
“Lebih
gak sopan lagi menjadikan seorang perempuan yang tak dikenal sebagai alasan
untuk mematikan telepon.”
“Kalau
begitu kita kenalan. Aku Jenar.” Tangannya lurus padaku. Tak segera kusambut.
Kepalaku sibuk merilis aturan-aturan boleh dan tidak boleh sebagai seorang
entertainment di bar. Kalau bukan diriku sendiri yang memproteksi siapa lagi?
“Ternyata
penyanyi di sini sombong ya,” sambungnya.
“Bayuni.”
Cepat kuraih tangannya secepat aku melepasnya. Aku ingat pesan Bang Rio. Selama
di areal Del Ray kami hanyalah pekerja seni. Tugas kami adalah mengentertaint tamu.
Tapi aku bukan Vena yang mudah berbaur dan akrab dengan tamu apalagi bila ia
berjenis kelamin laki-laki. Jenis pria yang healingnya ke bar tentu berbeda
dengan jenis pria yang healingnya ke lapangan futsal di malam hari.
Pria
bernama Jenar itu menyesap racikan martini di gelasnya.
“Nama
yang cantik secantik orangnya.” Pujiannya terasa datar.
“Terimakasih.”
Jawabku diplomatis. Jujur aku tak pernah tersanjung sedikitpun dengan kata
cantik dan sejenisnya. Terlalu biasa di telingaku.
“Mau
minum apa? Aku traktir. Merayakan perkenalan kita.” Pandangan matanya sedikit
ramah.
Jangan
pernah mengatakan kalau kita tidak minum alkohol pada tamu Del Ray. Percuma.
Karena mereka tidak akan percaya.
“Flaming
B-52,” jawabku sekenanya. Bli Made manager Del Ray sangat menyukainya. Seperti
biasa aku akan menjual dengan harga 50%. Lumayan untuk uang jajan seminggu
Bagas adikku.
“Wah
seleramu unik juga. Biasanya perempuan sukanya Tequila Sunrisse atau Virgin
Martini.” Kening Jenar berkerut heran.
“Kalau
ditraktir kenapa harus milih yang biasa?” Jawabanku disambut gelak tawa. Aku
bersumpah saat dia tertawa terlihat seperti bukan manusia. Terlalu tampan.
Gerak
tangannya yang melambai pada seorang waitres dan menuliskan pesanannya terlihat
begitu aesthetic. Mungkinkah dia seorang model?
Sebenarnya
memesan Flaming B-52 hanyalah trik untuk mengulur waktu sampai time break over.
Proses racikan sampai menyalanya api pada minuman itu memerlukan ketelitian
tinggi. Waitres yang menyajikan tentunya senior. Dan mereka semua sedang sibuk.
Minuman pesananku tentu akan menjadi list terakhir. Kebohonganku sebagai
peminum alkohol tak akan terbongkar.
“Suara
kamu bagus.”
Basi.
Namanya juga penyanyi masa iya suaranya kayak kaleng rombeng jawabku dalam
hati.
“Thanks,”
kujawab sambil tersenyum.
Jenar
memainkan pinggiran Martini glassnya, “Sudah lama nyanyi di sini?”
“Lumayan.
Sekitar tiga tahunan.”
Pembicaraan
kamipun berlanjut. Dari sana aku tahu kalau dia berasal dari Surabaya dan
sedang ada perjalanan bisnis di Lombok. Ini adalah hari terakhirnya, besok dia
harus flight ke Surabaya. Selama lima hari ini dia menginap di Svarga Resort.
Tak
terasa sejam berlalu. Aku segera bersiap untuk kembali ke stage. Bertepatan
dengan waitress membawa pesananku.
“I think I fall in love with you at the first
sight,” ucapnya tanpa ekspresi hanya matanya yang tajam menikam.
Aku
ketakutan mendengar pernyataannya. Kalimat itu seolah memiliki arti, “Come make
love to me tonight.” Fix. Pria ini wajib dihindari.
“I’m
sorry. I can’t believe love at first sight exists. And I think your Martini is
starting to work,” jawabku seraya bersiap untuk kembali ke stage.
Jenar
hanya tertawa mendengar jawaban sinisku.
“Terimakasih untuk ini,” seraya mengangkat
Flaming B-52 yang masih menyala.
“Bayuni.”
Panggilannya menghentikan langkahku.
“Hari
ini ulang tahunku. Bisakah kau menyanyikan sebuah lagu sebagai hadiah untukku?”
“Tentu
saja. Dengan senang hati. Lagu apa?”
“Human,”
jawabnya lirih.
Seketika
langkahku terhenti. Sorot mata itu tak lagi tajam. Ada perih mengiris yang ia
transfer ke hatiku. Aku bisa merasakannya.
***
Human.
Lagu dari Christina Perri ini sangat emosional untukku. Jujur aku takut
menyanyikan lagu ini. Terakhir kali kubawakan aku berlari ke kamar mandi
kemudian menangis di sana. Beralasan tiba-tiba sakit perut pada anggota band
lainnya.
Sejak
saat itu aku selalu menggunakan berbagai macam alasan untuk menolak jika lagu
ini masuk dalam song list. Tapi kali ini aku tak bisa berlari. Aturan nomor
satu dalam dunia entertainment adalah enjoying your costumer.
Demi
seorang pria bernama Jenar yang baru kukenal beberapa saat lalu. Yang saat ini
duduk di meja bartender menunggu requestnya di nyanyikan. Entah beban apa yang
ia alami hingga harus memilih lagu ini sebagai hadiah ulang tahunnya.
“Bay.
Kenalan kamu ganteng banget,” bisik Vena. Gak tahu aja dia saat ini makhluk
tampan itu tak ubahnya malaikat pencabut nyawa bagiku.
“Semuanya
asli. Dari atas sampai bawah,” bisiknya sekali lagi.
“Apanya
yang asli? Kamu pikir dia hantu?” Jawabku sekenanya.
“Brand
yang dia pakai. Ikan kakap itu. Kalau kamu gak suka aku siap terima.” Aku cuma
geleng-geleng kepala dan menyilangkan jariku di kepala melihat kelakuannya.
Gila.
“Okay…
This is the last song from us. Special for Jenar’s birthday tonight. We will
cool down with this song. Human from Christina Perri.” Vena memberikan closed
statement pada penampilan kami malam ini diiringi intro lagu Human.
Kupejamkan
mata, menarik napas, menitipkan emosi di setiap lirik lagu ini.
I
can hold my breath
I
can bite my tongue
I
can stay awake for days
If
that’s what you want
Be
your number one
I
can fake a smile
I
can force a laugh
I
can dance and play the part
If
that’s what you ask
Give
you all I am
I
can do it
I
can do it
I
can do it
But
I’m only human
And
I bleed when I fall down
I’m
only human
And
I crash and I break down
Your
words in my head, knives in my heart
You
build me up and then I fall apart
‘Cause
I’m only human
Mereka
menyebutku Quenn of Soul karena tak pernah gagal menyampaikan pesan lagu. Yang
mereka tak tahu adalah ratusan bayangan berkelebat di kepalaku, teriakan,
pecahan kaca, darah, airmata. Berujung tanya. Memangya apa salahku dan Bagas.
Kenapa semua tak berjalan semestinya padahal kami sudah berusaha sekuat tenaga.
Kupejamkan mata.
Suaraku
bergetar berusaha menahan tangis. Tanpa isak kurasakan airmataku begitu berani
turun tanpa ijin. Kuhapus secepatnya. Membuka mata kutatap Jenar. Mengapa aku
merasa bercermin pada matanya. Hatiku berkata. Kami sama-sama terluka.
Sejenak
terasa dunia berhenti berputar. Menyisakan kami berdua. Mata kami saling
berbicara. “Semua baik-baik saja”.
Komentar
Posting Komentar