Langsung ke konten utama

Bayuni-01

 Bayuni


Aku melompat turun dari Nissan Serena mengekori Bang Ali. Tepat dibelakangku Bang Aris, Bang Revan, dan Doni yang duduk di kursi belakang tak sabar untuk segera turun. Mereka harus segera check sound. Bang Rio sebagai leader band telah terlebih dahulu ke dalam, sejak mobil ini terparkir manis.

Setiap hari Selasa, Rabu, Kamis, dan Sabtu kami akan menghibur pengunjung Del Ray salah satu bar dan resto terbesar di kawasan pariwisata Senggigi. Pengunjung sudah mulai ramai saat kami datang. Tak heran ini adalah malam Minggu. Weekend selalu menjadi favorit setelah suntuk bekerja semingu penuh. Menikmati malam melepas penat diiringi musik menghentak menjadi sebuah pilihan yang sulit ditolak.

Masih tersisa 30 menit sebelum jam 22.00 WITA. Aku masuk ke ladies room sebagai ritual untuk menyiapkan diri sebelum tampil. Bingarnya musik Dj perlahan meredup seiring tertutupnya pintu. Kuletakkan ransel diatas meja marmer yang menempel bersama kaca rias dan wastafel berderet.

Perlahan kulepas sweater yang membungkus tank top hitam dengan tali melilit di belakang leher, membiarkan bahuku terekspos sempurna. Selanjutnya kulepaskan rok lilit panjang yang menutup mini skirt putih 20 cm diatas lututku, lengkap dengan ikat pinggang warna gold sebagai aksesories. Terakhir. Kulepaskan beanie yang menutup rambutku. Aku menundukkan kepala untuk menyisir rambut dengan arah terbalik dari leher ke ujung rambut, menyemprotkan hair spray seperlunya. Sekali hentak kepalaku kembali tegak, rambutku tergerai berantakan. Memang itu tujuanku. Perlahan kurapikan dengan jari.

Anggaplah itu adalah tutorial untuk membuat rambut terlihat seksi natural.

Kaca rias menampilkan wajah cantik dengan riasan smokey eyes di mataku. Riasan ini sempurna menutup gurat-gurat lelah berlabur luka. Tak bersisa. Hanya ayu tampaknya.

Pintu terbuka bersama sederet senyum milik Vena.

“Maaf Bay… Aku telat. Tadi aku berantem sama Mas Yos di jalan.”

“Kenapa? Cemburu lagi? Ck ck ck ck,” decakku pura-pura prihatin.

“He’s too much. Terlalu over protective. Aku gak suka.”

“Kamu pikir Mas Yos suka kamu masih telpon-telponan ma Dewa. Wajarlah dia cemburu.” Jawabku seraya memoles lipstick warna red wine. Bibirku merah segar menggoda seketika. Tersenyum pada pantulan kaca. I’m perfect.

“Ve. Mantan itu tempatnya di bak sampah.”

“Tapi Dewa terindah buat aku.”

“Kalau indah gak bakal jadi mantan. Naif banget sih,” rutukku kesal.

“Makanya pacaran dulu Bay baru kasih komentar.”

Jawaban Vena membuat mataku membola. Vena cengengesan merasa berhasil membuatku bungkam. Perempuan aneh.

“Aku duluan. Cepetan ntar Pak Avi marah liat kita gak lengkap di stage.”

“Okeyyy jomblo cantik. Just give me…” Seraya mengangkat 5 jarinya yang kutangkap sebagai kode 5 menit.

Pak Avi adalah owner Del Ray Bar & Resto. Mr. Discipline adalah julukannya. Pria berkacamata keturunan Tionghoa itu punya pandangan mata tajam yang menusuk jantung dan mengakibatkan sesak napas tiba-tiba. Terutama kalau kami sebagai home band terlambat.

Tall boots putih berhak 7cm membawa langkahku ke dalam bar. Meminta compliment berupa sebotol air putih tanggung pada Marco bartender andalan Del Ray. Berbasa-basi sebentar sebelum kemudian menuju stage. Ransel kusimpan di bagian belakang stage. Meletakkan tablet di stand book untuk memudahkan mencari lirik lagu nantinya.

Tepat pukul 22.00 WITA aku, Vina, dan Bang Ali sudah memegang mic masing-masing. Lampu temaram berkelap kelip menjadi penanda pekerjaan kami harus segera dimulai. Intro lagu Foolish Game milik Jewel mengalun lembut dari tuts keyboard Bang Rio. Kutarik nafas dan mulai bernyanyi:

You took your coat off

Stood in the rain

You’re always crazy like that

 

And I watched from my window

Always felt I was outside

Looking in on you

Detik merangkak malam semakin mendesak. Satu demi satu lagu Top 40 kami nyanyikan. Ritme lagu pun perlahan-lahan naik mengiringi semakin berjejalnya pengunjung. Lantai dua mulai penuh. Meja bilyard di lantai tiga paling ujung juga sudah menemukan penikmatnya. Botol demi botol wine dibuka. Dance floor mulai sesak dengan pengunjung yang lalu lalang kian kemari, menari tak jelas gerakannya di bawah pengaruh alkohol.

Semakin malam semakin ramai. Wajah mereka terlihat fun. Tapi hanya sementara. Di mataku mereka hanya manusia-manusia bertopeng bahagia. Tawa mereka terlalu lepas dan terbahak menandakan besarnya beban yang ada. Sungguh pelepasan derita yang mahal untuk dibayar.

Selain sibuk bernyanyi aku juga sibuk menghitung omset table tepat dihadapanku. 2 botol Kirschwasser, belum lagi bergelas-gelas brandy racikan bartender, dua loyang pizza, setidaknya mereka harus membayar lebih dari 3 juta malam ini. Pemandangan di table-table lain tak jauh berbeda. Para waitres berseliweran membawa pesanan berbagai rupa. Perempuan-perempuan malam mulai mengatur strategi. Mencari mangsa yang akan dibawa untuk beradu birahi menghasilkan pundi-pundi. Kurasakan tengkukku meremang sendiri.

Kuperhatikan Pak Avi tersenyum segaris. Bisnis kehidupan malam sangat menjanjikan. Jarum jam menunjuk angka 23.15 WITA. Artinya 15 menit lagi kami break. Dj Antoinetta kulihat sudah siap di stage sebelah. Setiap malam Minggu ada penampilan istimewa entah itu Dj atau Sexy Dancer. Aku tak mengenal mereka karena schedule kami memang berbeda.

Tepat di 23.30 WITA kami break. Dibantu Bang Revan aku menuruni stage. Kemudian melangkah bersama keluar. Kulihat Vena melambaikan tangan. Dia duduk bersama Mas Yos tawa renyah terdengar dari mejanya. Aku hanya balas melambaikan tangan. Menjadi nyamuk bagi lovey dovey yang baru saja akur bukanlah pilihan yang bagus.

Memilih duduk pada meja oval panjang berisi para pria di bandku. Tak ada minuman berakohol di meja kami. Kecuali Dino sang gitaris, pria-pria ini semuanya sudah menikah. Memiliki latar belakang yang berbeda namun dengan tujuan sama, mencari nafkah tambahan untuk keluarga kecil mereka. Mari kita kesampingkan masalah halal dan haram atau berkah tidaknya cara kami mencari uang. Cukup Tuhan yang menilainya.

Waktu break lumayan panjang sekitar satu jam. Aku mengeluarkan tab dan mulai belajar. Serius. Aku belajar. Selain sebagai vocalist home band Del Ray nama Bayuni Dewi juga tercatat sebagai mahasiswi universitas terbaik di pulau ini. Senin depan ujian semester. Aku gak boleh kendor. Targetku semester berikutnya bisa ambil skripsi. Jadi tahun depan aku bisa wisuda. Berbekal ijazah aku akan mencari pekerjaan lebih baik dan segera resign dari sini.

Sebagai introvert sejati cukup mudah bagiku menciptakan sepi sendiri. Kupasang earplug ditelinga untuk meredam riuhnya musik. Suara hingar bingar perlahan sayup dan menghilang. Lewat dan berlalunya manusia di sekelilingku hanya menjadi siluet tak penting. Otakku hanya menyinkronisasi materi perancangan struktur bangunan sipil pada tab. Belajar buatku bisa dimana saja.

Konsentrasiku sedikit terganggu ketika kulihat cocktail martini glass diletakkan di hadapanku. Reflek kepalaku menegak. Pria berkulit bersih dengan rahang tegas memberi isyarat melalui tajam matanya. “Kursi ini kosong?” Kira-kira seperti itu yang kutangkap. Aku tersenyum dan mengangguk. Tanpa menunggu lama pria yang kutaksir berusia awal 30an itu kemudian duduk.

Aku kembali tenggelam dalam materi ujian. Hanya sebentar. Karena feelingku mengatakan aku sedang diperhatikan. Kembali kutegakkan kepala. Seketika mataku beradu pandang dengan pria dihadapanku. Laksana magnet matanya menyedot seluruh alam bawah sadar. Sorot matanya yang tajam seolah menelanjangi isi kepala. Menamatkan kembali, pandangan mataku menemukan perih dan lelah pada sinarnya. Aku tahu. Karena sorot itu adalah jenis yang sama dengan milikku ketika berkaca seorang diri.

Pria itu menjadi yang pertama memutus pandangan kami. Gadgetnya berkedip-kedip. Foto perempuan cantik muncul. Kalau tak salah menangkap senyuman samar menuju sinis terlihat di wajahnya. Tangannya gesit menekan tombol off membuat gadget itu mati sempurna.

“Gak sopan ketika bersama perempuan cantik kita menerima telepon dari perempuan lain.”

Hah. Why is he suddenly saying a kind of bullshits?

“Lebih gak sopan lagi menjadikan seorang perempuan yang tak dikenal sebagai alasan untuk mematikan telepon.”

“Kalau begitu kita kenalan. Aku Jenar.” Tangannya lurus padaku. Tak segera kusambut. Kepalaku sibuk merilis aturan-aturan boleh dan tidak boleh sebagai seorang entertainment di bar. Kalau bukan diriku sendiri yang memproteksi siapa lagi?

“Ternyata penyanyi di sini sombong ya,” sambungnya.

“Bayuni.” Cepat kuraih tangannya secepat aku melepasnya. Aku ingat pesan Bang Rio. Selama di areal Del Ray kami hanyalah pekerja seni. Tugas kami adalah mengentertaint tamu. Tapi aku bukan Vena yang mudah berbaur dan akrab dengan tamu apalagi bila ia berjenis kelamin laki-laki. Jenis pria yang healingnya ke bar tentu berbeda dengan jenis pria yang healingnya ke lapangan futsal di malam hari.

Pria bernama Jenar itu menyesap racikan martini di gelasnya.

“Nama yang cantik secantik orangnya.” Pujiannya terasa datar.

“Terimakasih.” Jawabku diplomatis. Jujur aku tak pernah tersanjung sedikitpun dengan kata cantik dan sejenisnya. Terlalu biasa di telingaku.

“Mau minum apa? Aku traktir. Merayakan perkenalan kita.” Pandangan matanya sedikit ramah.

Jangan pernah mengatakan kalau kita tidak minum alkohol pada tamu Del Ray. Percuma. Karena mereka tidak akan percaya.

“Flaming B-52,” jawabku sekenanya. Bli Made manager Del Ray sangat menyukainya. Seperti biasa aku akan menjual dengan harga 50%. Lumayan untuk uang jajan seminggu Bagas adikku.

“Wah seleramu unik juga. Biasanya perempuan sukanya Tequila Sunrisse atau Virgin Martini.” Kening Jenar berkerut heran.

“Kalau ditraktir kenapa harus milih yang biasa?” Jawabanku disambut gelak tawa. Aku bersumpah saat dia tertawa terlihat seperti bukan manusia. Terlalu tampan.

Gerak tangannya yang melambai pada seorang waitres dan menuliskan pesanannya terlihat begitu aesthetic. Mungkinkah dia seorang model?

Sebenarnya memesan Flaming B-52 hanyalah trik untuk mengulur waktu sampai time break over. Proses racikan sampai menyalanya api pada minuman itu memerlukan ketelitian tinggi. Waitres yang menyajikan tentunya senior. Dan mereka semua sedang sibuk. Minuman pesananku tentu akan menjadi list terakhir. Kebohonganku sebagai peminum alkohol tak akan terbongkar.

“Suara kamu bagus.”

Basi. Namanya juga penyanyi masa iya suaranya kayak kaleng rombeng jawabku dalam hati.

“Thanks,” kujawab sambil tersenyum.

Jenar memainkan pinggiran Martini glassnya, “Sudah lama nyanyi di sini?”

“Lumayan. Sekitar tiga tahunan.”

Pembicaraan kamipun berlanjut. Dari sana aku tahu kalau dia berasal dari Surabaya dan sedang ada perjalanan bisnis di Lombok. Ini adalah hari terakhirnya, besok dia harus flight ke Surabaya. Selama lima hari ini dia menginap di Svarga Resort.

Tak terasa sejam berlalu. Aku segera bersiap untuk kembali ke stage. Bertepatan dengan waitress membawa pesananku.

 “I think I fall in love with you at the first sight,” ucapnya tanpa ekspresi hanya matanya yang tajam menikam.

Aku ketakutan mendengar pernyataannya. Kalimat itu seolah memiliki arti, “Come make love to me tonight.” Fix. Pria ini wajib dihindari.

“I’m sorry. I can’t believe love at first sight exists. And I think your Martini is starting to work,” jawabku seraya bersiap untuk kembali ke stage.

Jenar hanya tertawa mendengar jawaban sinisku.

 “Terimakasih untuk ini,” seraya mengangkat Flaming B-52 yang masih menyala.

“Bayuni.” Panggilannya menghentikan langkahku.

“Hari ini ulang tahunku. Bisakah kau menyanyikan sebuah lagu sebagai hadiah untukku?”

“Tentu saja. Dengan senang hati. Lagu apa?”

“Human,” jawabnya lirih.

Seketika langkahku terhenti. Sorot mata itu tak lagi tajam. Ada perih mengiris yang ia transfer ke hatiku. Aku bisa merasakannya.

***

Human. Lagu dari Christina Perri ini sangat emosional untukku. Jujur aku takut menyanyikan lagu ini. Terakhir kali kubawakan aku berlari ke kamar mandi kemudian menangis di sana. Beralasan tiba-tiba sakit perut pada anggota band lainnya.

Sejak saat itu aku selalu menggunakan berbagai macam alasan untuk menolak jika lagu ini masuk dalam song list. Tapi kali ini aku tak bisa berlari. Aturan nomor satu dalam dunia entertainment adalah enjoying your costumer.

Demi seorang pria bernama Jenar yang baru kukenal beberapa saat lalu. Yang saat ini duduk di meja bartender menunggu requestnya di nyanyikan. Entah beban apa yang ia alami hingga harus memilih lagu ini sebagai hadiah ulang tahunnya.

“Bay. Kenalan kamu ganteng banget,” bisik Vena. Gak tahu aja dia saat ini makhluk tampan itu tak ubahnya malaikat pencabut nyawa bagiku.

“Semuanya asli. Dari atas sampai bawah,” bisiknya sekali lagi.

“Apanya yang asli? Kamu pikir dia hantu?” Jawabku sekenanya.

“Brand yang dia pakai. Ikan kakap itu. Kalau kamu gak suka aku siap terima.” Aku cuma geleng-geleng kepala dan menyilangkan jariku di kepala melihat kelakuannya. Gila.

“Okay… This is the last song from us. Special for Jenar’s birthday tonight. We will cool down with this song. Human from Christina Perri.” Vena memberikan closed statement pada penampilan kami malam ini diiringi intro lagu Human.

Kupejamkan mata, menarik napas, menitipkan emosi di setiap lirik lagu ini.

I can hold my breath

I can bite my tongue

I can stay awake for days

If that’s what you want

Be your number one

 

I can fake a smile

I can force a laugh

I can dance and play the part

If that’s what you ask

Give you all I am

 

I can do it

I can do it

I can do it

 

But I’m only human

And I bleed when I fall down

I’m only human

And I crash and I break down

Your words in my head, knives in my heart

You build me up and then I fall apart

‘Cause I’m only human

 

Mereka menyebutku Quenn of Soul karena tak pernah gagal menyampaikan pesan lagu. Yang mereka tak tahu adalah ratusan bayangan berkelebat di kepalaku, teriakan, pecahan kaca, darah, airmata. Berujung tanya. Memangya apa salahku dan Bagas. Kenapa semua tak berjalan semestinya padahal kami sudah berusaha sekuat tenaga. Kupejamkan mata.

Suaraku bergetar berusaha menahan tangis. Tanpa isak kurasakan airmataku begitu berani turun tanpa ijin. Kuhapus secepatnya. Membuka mata kutatap Jenar. Mengapa aku merasa bercermin pada matanya. Hatiku berkata. Kami sama-sama terluka.

Sejenak terasa dunia berhenti berputar. Menyisakan kami berdua. Mata kami saling berbicara. “Semua baik-baik saja”.

 

 


Komentar

Popular Posts

Resume ke-8

Free Writin Obat Ampuh Melawan Virus Writer's Block Resume ke : 8 Gelombang : 23 dan 24 Hari/Tanggal/Waktu : Rabu/02 Februari 2022/19.00 WIB Materi : Mengatasi Writer's Block Narasumber : Ditta Widya Utami, S. Pd.,Gr. Moderator : Widya Setyaningsih Secepat mungkin kularikan motor dari TPQ ke rumah. Setiap Senin dan Rabu malam jadwal pelatihan berbenturan dengan jadwal ngajar ngaji. Seperti yang terjadi malam ini. Ditambah lagi tadi Lintang anak saya yang paling besar, ada tes kenaikan jilid. Lumayan menunggu lama.  Tapi itu tak mengurangi semangat untuk mengejar ketertinggalan. Kewajiban sebagai ibu jalan, kewajiban sebagai peserta dilaksanakan, hak untuk memperoleh ilmu didapatkan. Tepat jam 20.00 WITA Bu Widya membuka forum dengan cerah ceria, padahal menurut beliau Kota Malang sedang diguyur hujan. Di luar boleh hujan, tapi di dalam hati matahari tetap bersinar.  Narasumber kali ini adalah Ditta Widya Utami S.Pd, Gr. Beliau Lahir di Subang, 23 Mei 1990, saat in
Resume ke : 20 Gelombang : 23 dan 24 Hari/Tanggal/Waktu : Rabu/03 Maret 2022/19.00 WIB Materi : Menguak Dapur Penerbit Mayor Narasumber : Edi S. Mulyanta Moderator : Mulyadi Materi malam hari ini merupakan rangkaian dari materi pertemuan ke-19. Bila kemarin membahas pemasaran, maka kali ini pembahasan lebih intim karena menuju dapur sebuah penerbit Mayor sekelas Penerbit Andi Offset Yogyakarta. Klik 👉  Profil Edy S. Mulyanta .  Setelah mengklik tautan diatas. Kita akan mengenal Bapak Edy S. Mulyanta narasumber malam hari ini tidak hanya sebagai publishing consultant & e-book development yang sudah 20 tahun malang melintang di dunia penerbitan. Tetapi juga akan mengenal beliau sebagai penulis dan seorang praktisi pendidikan (dosen). Buku-buku karya beliau banyak kita jumpai di toko-toko buku di seluruh Indonesia. Beliau concern menulis buku bertema tehnik. Sesuai dengan latar belakang pendidikan beliau yaitu magister dibidang teknik elektro Industri Penerbitan Sel

Resume ke-14

Menulis Itu Indah Resume ke : 14 Gelombang : 23 dan 24 Hari/Tanggal/Waktu : Rabu/16 Februari 2022/19.00 WIB Materi : Menulis Buku Terbaik Perpusnas Narasumber : Dr. Mudafiatun Isriyah Moderator : Widya Setianingsih              Melalui flyer yang dibagikan siang tadi, saya sempat googling dan mencari tahu tentang narasumber. Dr. Mudafiatun Isriyah adalah peraih penulis terbaik 1 Perpusnas tahun 2021 dalam subjek Pembelajaran Jarak Jauh melalui buku berjudul “Implementasi Social Presence dalam Bimbingan Online – dalam Konteks Perspektif Komunikasi Personal, Interpersonal, dan Impersonal. Karya ini merupakan duet bersama Prof. Richardus Eko Indrajit. Sangat setuju dengan detil yang dipaparkan moderator cantik Bu Widya Setyaningsih, bila Bu Muda (panggilan akrab narasumber) yang lahir 53 tahun lalu di Lumajang pada tanggal 21 April sangat berjiwa muda. Ingin berkenalan lebih dekat dengan beliau bisa klik 👉 CV Bu Muda . Interaksi beliau dengan moderator begitu interaktif, nyambu