Langsung ke konten utama

Amethyst


 Amethyst

Arantxa menghentikan langkahnya. Melompat ke samping pohon besar di tepi sungai. Besarnya pohon itu cukup untuk menyembunyikan tubuh mungilnya. Mendung dari utara berarak perlahan membuat suasana dalam hutan siang itu semakin meredup. Menenggelamkan bayangannya dengan sempurna. Matanya terbelalak menyaksikan pemandangan yang terpampang di hadapannya.

“Terlalu banyak rahasia yang kau ketahui.” Itu suara seorang laki-laki.

Perempuan berbaju serba hitam itu memegangi dadanya. Pisau telah melukai dada kirinya. Sepertinya lukanya sangat dalam. Kepalanya tertunduk, matanya tertutup menahan nyeri. Kakinya bergetar seolah menolak ambruk.

“Bangkai. Sampai kapanpun tetap busuk. Uhukkk… “ Darah muncrat dari mulutnya.

Perlahan laki-laki itu mendekatinya. Penampilannya tak kalah menyedihkan. Jubah merahnya koyak berantakan. Darah mengucur deras dari lengan kirinya. Wajahnya memar membiru. Sepertinya mereka telah terlibat dalam sebuah pertarungan hebat.

“Kau pikir mereka akan datang menyelamatkanmu?” Katanya seraya berusaha bangkit dengan susah payah. Lelaki itu terluka parah.

 “Tidak Tuan Puteri.” Kepalanya menggeleng kuat dengan tawa menyeringai yang menakutkan.

“Mereka sedang menyiapkan sebuah jamuan makan malam besar untuk menyambut berita kematianmu.”

“Aku tak selemah itu. Darah Ares mengalir di tubuhku. Thatanos tak kan sudi mencabut nyawaku dengan cara kotor ini.”

“Pisau itu beracun Tuan Puteri. Khusus dibuat untuk kematian agungmu. Kenanglah mereka dengan indah dalam penantianmu dijemput maut. Mati pelan-pelan. Menyenangkan bukan?”

Perempuan yang disebut Tuan Puteri itu membuka matanya. Kemarahan berbalut kesedihan terpancar dari matanya.

“Kalian akan menyesalinya. Demi Gaia. Aku bersumpah kalian akan membayarnya,” tubuhnya bergetar hebat sebelum akhirnya jatuh terduduk. Pedang ditangannya menancap serupa tongkat yang menahan tubuhnya untuk tidak terkapar.

“Tepat hujan turun kematianmu tiba. Tak lama. Nikmati saja. Maaf aku tak bisa menemani.”

Ia meludahkan segumpal darah hitam dihadapan Tuan Puteri yang sedang sekarat. Perempuan itu menatapnya nanar tanpa ketakutan barang setitikpun.

Laki-laki tinggi berjubah itu kemudian bersiul dan tak berapa lama nampaklah seekor kuda tampan hitam legam menghampiri.

“Selamat tinggal Tuan Puteri. Tunggu aku di neraka.”

Dalam sekali hentakan laki-laki itu melompat ke atas punggungnya, menarik kendali dan pergi secepat angin berhembus.

            Arantxa terkulai lemas. Entah berapa lama ia menahan napas. Kepalanya tak bisa berpikir jernih. Otaknya menyuruhnya segera mengambil langkah seribu. Tapi hatinya jelas-jelas seratus persen menolak. Terbukti dengan langkah kakinya yang bergerak mendekati perempuan yang disebut Tuan Puteri itu, meski selambat siput.

Napas pendek-pendek, tersengal. Tubuh perempuan itu semakin memucat. Bibirnya bergerak tapi hanya suara erangan yang terdengar. Arantxa bisa melihat dengan jelas karena Tuan Puteri itu kini telah berada di atas pangkuannya.

Sepertinya Arantxa setuju dengan kata-kata ayahnya bahwa dia tak punya otak. Lihatlah sekarang dia sedang berusaha memberikan air minum pada sang Tuan Puteri yang sedang sekarat.

“Areta… Areta… Areta… “

“Tuan Puteri mengigau.” Hatinya berkata.

Tiba-tiba mata Tuan Puteri terbuka. Mata mereka bertaut. Arantxa merasa ditarik sebuah magnet yang dalam. Jantungnya berdetak lebih cepat.

“Areta… Akhirnya kau pulang,” serupa bisikan suaranya lemah terdengar.

“Arantxa. Aku Arantxa bukan Areta. Kau mengigau Tuan Puteri.”

“Ma…af… A…ku tak… bisa,” air mata mengalir dari sudut mata kirinya.

“Me…re…ka ber…khianat,” susah payah dan terbata-bata ia berkata.

Perempuan dipangkuannya ini sedang sekarat. Racun itu sedang bekerja mencuri separuh kesadarannya. Tuan Puteri sedang berhalusinasi rupanya. Arantxa pun menangis. Sebesar apa dosa yang perempuan ini lakukan sampai harus dibunuh dengan cara seperti ini.

“Jang…an menangis Areta…ku. Uhukkkk,” Tuan Puteri muntah darah. Darah yang dimuntahkan merah kehitaman.

Air mata Arantxa semakin deras mengalir. Entah mengapa hatinya terasa sakit sekali. Ada amarah menggumpal di dadanya. Tapi kenapa? Sepertinya perasaan ini bukan pertama kali ia rasakan. Tapi di mana? Kapan? Arantxa sibuk mencari jawaban di kepalanya.

“A..ku rin..du...”

Rindu! Kenapa perasaan ini tiba-tiba muncul di hati Arantxa. Pada siapa? Tuan Puteri? Tapi ini adalah pertemuan pertamanya. Tunggu. Benarkah ini pertemuan pertamakalinya?

Tangan dingin Tuan Puteri menghapus air mata yang membasahi pipinya. Senyum terbit di bibir pucatnya.

Arantxa merasa isi kepalanya terombang ambing badai lautan. Seluruh bumi seolah berputar. Tanpa menyadari sepenuhnya ketika dagunya ditarik mendekat ke wajah Tuan Puteri.

“Buka…mulut…mu. A…ku tak pu…nya waktu la…gi.”

Bagai kerbau yang dicocok hidungnya Arantxa mengikuti perintah Tuan Puteri. Sinar keunguan membola keluar dari mulutnya. Itu Amethyst!

Arantxa merasakan Amethyst masuk ke dalam mulutnya melewati tenggorokannya menggempur jantungnya. Menyesakkan setiap relung dalam rusuknya.

Tubuh Arantxa bergetar hebat. Bila tadi ia merasa seolah bumi berputar. Saat ini ia yakin bumi sedang memutar tubuhnya. Berada dalam pusaran gelombang elektromagnetik, serupa radar mendeteksi potongan-potongan gambar, menyusunnya menjadi puzzle yang bergerak, dengan dia sebagai pemeran utama.

Istana, taman bunga, kupu-kupu, pelangi, suara tawa, tangis, teriakan, darah, air mata, perempuan itu, laki-laki itu, orang-orang itu, mereka. Dia! Eirene. Tuan Puteri itu Eirene.

Gadis kecil berkepang dua itu berlari mengejar dengan sepasang kaki pendeknya.

“Eirene jangan lari… Aku Lelah.”

“Eirene buatkan aku boneka.”

“Eirene petikkan aku bunga.”

“Eirene tangkapkan aku kupu-kupu.”

“Eirene di mana ibu? Eirene kenapa menangis?”

“Eirene jangan pergi. Aku janji tidak nakal lagi. Aku janji tidak merepotkanmu lagi”

“Eirene… Eirene… Eireneeeeeee!!!!!”


Gelap.

Komentar

Popular Posts

Resume ke-8

Free Writin Obat Ampuh Melawan Virus Writer's Block Resume ke : 8 Gelombang : 23 dan 24 Hari/Tanggal/Waktu : Rabu/02 Februari 2022/19.00 WIB Materi : Mengatasi Writer's Block Narasumber : Ditta Widya Utami, S. Pd.,Gr. Moderator : Widya Setyaningsih Secepat mungkin kularikan motor dari TPQ ke rumah. Setiap Senin dan Rabu malam jadwal pelatihan berbenturan dengan jadwal ngajar ngaji. Seperti yang terjadi malam ini. Ditambah lagi tadi Lintang anak saya yang paling besar, ada tes kenaikan jilid. Lumayan menunggu lama.  Tapi itu tak mengurangi semangat untuk mengejar ketertinggalan. Kewajiban sebagai ibu jalan, kewajiban sebagai peserta dilaksanakan, hak untuk memperoleh ilmu didapatkan. Tepat jam 20.00 WITA Bu Widya membuka forum dengan cerah ceria, padahal menurut beliau Kota Malang sedang diguyur hujan. Di luar boleh hujan, tapi di dalam hati matahari tetap bersinar.  Narasumber kali ini adalah Ditta Widya Utami S.Pd, Gr. Beliau Lahir di Subang, 23 Mei 1990, saat in
Resume ke : 20 Gelombang : 23 dan 24 Hari/Tanggal/Waktu : Rabu/03 Maret 2022/19.00 WIB Materi : Menguak Dapur Penerbit Mayor Narasumber : Edi S. Mulyanta Moderator : Mulyadi Materi malam hari ini merupakan rangkaian dari materi pertemuan ke-19. Bila kemarin membahas pemasaran, maka kali ini pembahasan lebih intim karena menuju dapur sebuah penerbit Mayor sekelas Penerbit Andi Offset Yogyakarta. Klik 👉  Profil Edy S. Mulyanta .  Setelah mengklik tautan diatas. Kita akan mengenal Bapak Edy S. Mulyanta narasumber malam hari ini tidak hanya sebagai publishing consultant & e-book development yang sudah 20 tahun malang melintang di dunia penerbitan. Tetapi juga akan mengenal beliau sebagai penulis dan seorang praktisi pendidikan (dosen). Buku-buku karya beliau banyak kita jumpai di toko-toko buku di seluruh Indonesia. Beliau concern menulis buku bertema tehnik. Sesuai dengan latar belakang pendidikan beliau yaitu magister dibidang teknik elektro Industri Penerbitan Sel

Resume ke-14

Menulis Itu Indah Resume ke : 14 Gelombang : 23 dan 24 Hari/Tanggal/Waktu : Rabu/16 Februari 2022/19.00 WIB Materi : Menulis Buku Terbaik Perpusnas Narasumber : Dr. Mudafiatun Isriyah Moderator : Widya Setianingsih              Melalui flyer yang dibagikan siang tadi, saya sempat googling dan mencari tahu tentang narasumber. Dr. Mudafiatun Isriyah adalah peraih penulis terbaik 1 Perpusnas tahun 2021 dalam subjek Pembelajaran Jarak Jauh melalui buku berjudul “Implementasi Social Presence dalam Bimbingan Online – dalam Konteks Perspektif Komunikasi Personal, Interpersonal, dan Impersonal. Karya ini merupakan duet bersama Prof. Richardus Eko Indrajit. Sangat setuju dengan detil yang dipaparkan moderator cantik Bu Widya Setyaningsih, bila Bu Muda (panggilan akrab narasumber) yang lahir 53 tahun lalu di Lumajang pada tanggal 21 April sangat berjiwa muda. Ingin berkenalan lebih dekat dengan beliau bisa klik 👉 CV Bu Muda . Interaksi beliau dengan moderator begitu interaktif, nyambu