Arantxa menghentikan langkahnya.
Melompat ke samping pohon besar di tepi sungai. Besarnya pohon itu cukup untuk
menyembunyikan tubuh mungilnya. Mendung dari utara berarak perlahan membuat
suasana dalam hutan siang itu semakin meredup. Menenggelamkan bayangannya
dengan sempurna. Matanya terbelalak menyaksikan pemandangan yang terpampang di hadapannya.
“Terlalu banyak rahasia yang kau ketahui.” Itu suara seorang
laki-laki.
Perempuan berbaju serba hitam itu memegangi dadanya. Pisau
telah melukai dada kirinya. Sepertinya lukanya sangat dalam. Kepalanya
tertunduk, matanya tertutup menahan nyeri. Kakinya bergetar seolah menolak ambruk.
“Bangkai. Sampai kapanpun tetap busuk. Uhukkk… “ Darah
muncrat dari mulutnya.
Perlahan laki-laki itu mendekatinya. Penampilannya tak kalah
menyedihkan. Jubah merahnya koyak berantakan. Darah mengucur deras dari lengan
kirinya. Wajahnya memar membiru. Sepertinya mereka telah terlibat dalam sebuah
pertarungan hebat.
“Kau pikir mereka akan datang menyelamatkanmu?” Katanya
seraya berusaha bangkit dengan susah payah. Lelaki itu terluka parah.
“Tidak Tuan Puteri.”
Kepalanya menggeleng kuat dengan tawa menyeringai yang menakutkan.
“Mereka sedang menyiapkan sebuah jamuan makan malam besar
untuk menyambut berita kematianmu.”
“Aku tak selemah itu. Darah Ares mengalir di tubuhku. Thatanos
tak kan sudi mencabut nyawaku dengan cara kotor ini.”
“Pisau itu beracun Tuan Puteri. Khusus dibuat untuk kematian
agungmu. Kenanglah mereka dengan indah dalam penantianmu dijemput maut. Mati
pelan-pelan. Menyenangkan bukan?”
Perempuan yang disebut Tuan Puteri itu membuka matanya.
Kemarahan berbalut kesedihan terpancar dari matanya.
“Kalian akan menyesalinya. Demi Gaia. Aku bersumpah kalian
akan membayarnya,” tubuhnya bergetar hebat sebelum akhirnya jatuh terduduk.
Pedang ditangannya menancap serupa tongkat yang menahan tubuhnya untuk tidak
terkapar.
“Tepat hujan turun kematianmu tiba. Tak lama. Nikmati saja.
Maaf aku tak bisa menemani.”
Ia meludahkan segumpal darah hitam dihadapan Tuan Puteri yang
sedang sekarat. Perempuan itu menatapnya nanar tanpa ketakutan barang
setitikpun.
Laki-laki tinggi berjubah itu kemudian bersiul dan tak berapa
lama nampaklah seekor kuda tampan hitam legam menghampiri.
“Selamat tinggal Tuan Puteri. Tunggu aku di neraka.”
Dalam sekali hentakan laki-laki itu melompat ke atas
punggungnya, menarik kendali dan pergi secepat angin berhembus.
Arantxa
terkulai lemas. Entah berapa lama ia menahan napas. Kepalanya tak bisa berpikir
jernih. Otaknya menyuruhnya segera mengambil langkah seribu. Tapi hatinya
jelas-jelas seratus persen menolak. Terbukti dengan langkah kakinya yang
bergerak mendekati perempuan yang disebut Tuan Puteri itu, meski selambat
siput.
Napas pendek-pendek, tersengal. Tubuh perempuan itu semakin
memucat. Bibirnya bergerak tapi hanya suara erangan yang terdengar. Arantxa
bisa melihat dengan jelas karena Tuan Puteri itu kini telah berada di atas
pangkuannya.
Sepertinya Arantxa setuju dengan kata-kata ayahnya bahwa dia
tak punya otak. Lihatlah sekarang dia sedang berusaha memberikan air minum pada
sang Tuan Puteri yang sedang sekarat.
“Areta… Areta… Areta… “
“Tuan Puteri mengigau.” Hatinya berkata.
Tiba-tiba mata Tuan Puteri terbuka. Mata mereka bertaut.
Arantxa merasa ditarik sebuah magnet yang dalam. Jantungnya berdetak lebih
cepat.
“Areta… Akhirnya kau pulang,” serupa bisikan suaranya lemah
terdengar.
“Arantxa. Aku Arantxa bukan Areta. Kau mengigau Tuan Puteri.”
“Ma…af… A…ku tak… bisa,” air mata mengalir dari sudut mata
kirinya.
“Me…re…ka ber…khianat,” susah payah dan terbata-bata ia
berkata.
Perempuan dipangkuannya ini sedang sekarat. Racun itu sedang
bekerja mencuri separuh kesadarannya. Tuan Puteri sedang berhalusinasi rupanya.
Arantxa pun menangis. Sebesar apa dosa yang perempuan ini lakukan sampai harus
dibunuh dengan cara seperti ini.
“Jang…an menangis Areta…ku. Uhukkkk,” Tuan Puteri muntah
darah. Darah yang dimuntahkan merah kehitaman.
Air mata Arantxa semakin deras mengalir. Entah mengapa hatinya
terasa sakit sekali. Ada amarah menggumpal di dadanya. Tapi kenapa? Sepertinya
perasaan ini bukan pertama kali ia rasakan. Tapi di mana? Kapan? Arantxa sibuk
mencari jawaban di kepalanya.
“A..ku rin..du...”
Rindu! Kenapa perasaan ini tiba-tiba muncul di hati Arantxa.
Pada siapa? Tuan Puteri? Tapi ini adalah pertemuan pertamanya. Tunggu. Benarkah
ini pertemuan pertamakalinya?
Tangan dingin Tuan Puteri menghapus air mata yang membasahi
pipinya. Senyum terbit di bibir pucatnya.
Arantxa merasa isi kepalanya terombang ambing badai lautan.
Seluruh bumi seolah berputar. Tanpa menyadari sepenuhnya ketika dagunya ditarik
mendekat ke wajah Tuan Puteri.
“Buka…mulut…mu. A…ku tak pu…nya waktu la…gi.”
Bagai kerbau yang dicocok hidungnya Arantxa mengikuti
perintah Tuan Puteri. Sinar keunguan membola keluar dari mulutnya. Itu
Amethyst!
Arantxa merasakan Amethyst masuk ke dalam mulutnya melewati
tenggorokannya menggempur jantungnya. Menyesakkan setiap relung dalam rusuknya.
Tubuh Arantxa bergetar hebat. Bila tadi ia merasa seolah bumi
berputar. Saat ini ia yakin bumi sedang memutar tubuhnya. Berada dalam pusaran
gelombang elektromagnetik, serupa radar mendeteksi potongan-potongan gambar,
menyusunnya menjadi puzzle yang bergerak, dengan dia sebagai pemeran utama.
Istana, taman bunga, kupu-kupu, pelangi, suara tawa, tangis,
teriakan, darah, air mata, perempuan itu, laki-laki itu, orang-orang itu,
mereka. Dia! Eirene. Tuan Puteri itu Eirene.
Gadis kecil berkepang dua itu berlari mengejar dengan
sepasang kaki pendeknya.
“Eirene jangan lari… Aku Lelah.”
“Eirene buatkan aku boneka.”
“Eirene petikkan aku bunga.”
“Eirene tangkapkan aku kupu-kupu.”
“Eirene di mana ibu? Eirene kenapa menangis?”
“Eirene jangan pergi. Aku janji tidak nakal lagi. Aku janji
tidak merepotkanmu lagi”
“Eirene… Eirene… Eireneeeeeee!!!!!”
Komentar
Posting Komentar